Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Pada Anak
Hukuman kebiri adalah jenis hukuman yang diberikan kepada pelaku kekerasan dan kejahatan seksual. Mengingat saat ini tindak kekerasan seksual terhadap anak saat ini masih saja terjadi dan sudah sangat mengancam dan membahayakan jiwa anak. Selain itu juga dapat merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan dan ketertiban masyarakat.
Hukum kebiri juga dikenal sebagai hukum kebiri kimia. Kebiri kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, dengan maksud untuk menurunkan hasrat seksual dan libido pada seseorang.
Melansir dari laman BPSDM Hukum dan Ham, dengan keluarnya peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Kemudian menjadi dasar penegak hukum dalam menjalankan ketentuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
Dalam Pasal 1 Ayat 2 PP Nomor 70 Tahun 2020 disebutkan bahwa tindakan kebiri kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.
Sehingga dengan adanya hukuman kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tidak lain adalah untuk mencegah, mengatasi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, dan memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sehingga pelaku akan berpikir panjang untuk melakukan hal tersebut.
Tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap pelaku persetubuhan atau perkosaan terhadap anak, diberikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang dilaksanakan atas perintah jaksa setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial dan kesehatan.
Tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dalam bentuk gelang elektronik dikenakan kepada pelaku persetubuhan, dan pelaku perbuatan cabul terhadap anak, diberikan paling lama 2 (dua) tahun.
Sedangkan kepada pelaku perbuatan cabul terhadap anak, diberikan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik dalam bentuk gelang dan rehabilitasi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang juga dilaksanakan atas perintah jaksa setelah berkoordinasi dengan dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial dan kesehatan.
Bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, selain diberikan sanksi kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi, juga diberikan sanksi berupa pengumuman identitas pelaku. Pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak dilakukan selama 1 (satu) bulan kalender melalui papan pengumuman, laman resmi kejaksaan, dan media cetak, media elektronik, dan/atau media sosial.
Baca Juga: Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual tidak boleh dilakukan kepada siapapun baik anak-anak, orang dewasa, perempuan, laki-laki, muda, dan tua. Mereka berhak menjalani hidup dengan damai dan aman. Larangan melakukan kekerasan seksual terhadap anak tercantum dalam Pasal 76D dan 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
Sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual berupa persetubuhan atau perkosaan terhadap anak tercantum dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang
Pada Pasal 81 ayat (1) sanksi berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Jika persetubuhan atau perkosaan tersebut dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Kemudian dalam hal tindak pidana persetubuhan atau perkosaan tersebut menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Hal ini diatur pada Pasal 81 ayat (5).
Selain itu berdasarkan Pasal 81 ayat (6) pelaku juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, dan berdasarkan Pasal 81 ayat (7) pelaku juga dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.
Adapun Sanksi bagi pelaku kekerasan seksual dalam bentuk perbuatan cabul tercantum dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
Pada pasal 82 ayat (1) sanksi berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Jika perbuatan cabul tersebut dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Dalam hal tindak pidana pencabulan menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga), selain itu pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Khusus terhadap pelaku anak, maka tindakan kebiri kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, serta pengumuman identitas pelaku tidak dapat dikenakan terhadap pelaku anak.
Bagi Anda yang ingin menggunakan layanan komprehensif solusi hukum mitra pengacara profesional TNOS, bisa mengikuti beberapa langkah berikut ini:
Jika sudah, maka kamu akan terhubung dan dibantu oleh mitra pengacara TNOS yang profesional sampai masalah Anda tuntas. Selamat mencoba!
Kabar gembira nih, setiap kali melakukan pemesanan Layanan Komprehensif Hukum, Anda dapat melakukan check out payment dengan metode pembayaran melalui kartu kredit BCA dengan Cicilan 0% tenor 3&6 bulan.
Oia, Ada kabar baik nih buat para pengguna IOS, Aplikasi TNOS telah hadir di App Store! Untuk Android, Anda bisa download aplikasi TNOS melalui Playstore, ya! Informasi lebih lanjut, bisa menghubungi VIA WA ke nomor 0811-9595-493 .
Baca Juga: Pidana Penjara dan Kurungan Emang Beda?
Komentar