Alasan Perceraian Karena Murtad, Begini Pandangan Hukumnya
Alasan perceraian karena murtad dapat mengakibatkan hak-hak anak terabaikan, seperti hak memperoleh kasih sayang, hak asuh, hak pendidikan, dan juga hak beragama. Pemenuhan hak beragama anak dalam keluarga menjadi bermasalah, karena agama salah satu orang tua menjadi berbeda dengan agama anak.
Perlu diketahui, hukum perkawinan di Indonesia mengatur tentang syarat pasangan seagama untuk melakukan perkawinan dan sebaliknya tidak mengakui perkawinan pasangan beda agama (UU No.1/1974).
Pada kebanyakan kasus pasangan beda agama, agar pernikahannya dapat diakui secara hukum dan agama, salah satunya akan mengikuti agama pasangannya. Dalam hal ini, istilah murtad berarti peralihan agama dari Islam ke agama lain. Namun, setelah pernikahan sah secara agama dan hukum negara, salah satu pasangan yang dulu beragama selain Islam (sebelum menikah), ingin kembali ke agama yang dulu. Kondisi ini lebih banyak ditemukan dalam kasus perceraian karena murtad di Pengadilan Agama.
Alasan perceraian karena murtad ini mengakibatkan pemenuhan hak-hak anak (khususnya anak di bawah usia 12 tahun) menjadi terbengkalai, seperti hak mendapat kasih sayang, hak asuh, hak pendidikan, juga hak beragama.
Baca Juga: Hak Asuh Anak Dalam Pernikahan Beda Agama
Permasalahan keluarga seringkali muncul karena didasari dengan keyakinan yang memang sejak awal berbeda, merembet pada keengganan mengikuti kewajiban dan kebiasaan agama Islam, perbedaan mendidik anak, hingga puncaknya adalah memutuskan untuk keluar dari agama Islam dan terjadilah perceraian.
Hal ini sejalan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Segala macam bentuk perceraian, termasuk perceraian dengan alasan murtad, harus melalui proses pengadilan dan perceraian baru sah setelah mendapat keputusan dari Pengadilan. Bahkan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perceraian dengan alasan murtad hanya dapat dikabulkan jika murtad tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Inilah yang menjadi inti yang membedakan antara fasakhnya (batal) perkawinan akibat murtad menurut hukum Islam dengan perceraian dengan alasan murtad menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam hukum positif di Indonesia, Pengadilan tidak berwenang untuk memutuskan suatu perkawinan akibat murtad (pindah agama) apabila tidak terjadi permasalahan rumah tangga, meskipun secara agama khususnya hukum Islam perbuatan tersebut menyebabkan perkawinan menjadi terfasakh (batal). Hakim hanya berwenang mengadili sebatas apa yang menjadi isi gugatan sehingga diluar isi gugatan hakim tidak berwenang untuk mengadili dan memutuskannya.
Berdasarkan kedua dalil ini dapatlah dipahami alasan perumusan redaksi Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam mengenai murtad sebagai alasan perceraian di pengadilan, yaitu peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Ketentuan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas bukan hanya menggantungkan syarat perceraian kepada alasan “telah terjadinya peralihan agama (murtad) oleh salah satu pihak dalam perkawinan”, tetapi secara terikat digantungkan pula kepada syarat “terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga akibat murtad tersebut”.
Artinya, alasan perceraian menurut Pasal 116 huruf (h) haruslah memenuhi 2 (dua) kualifikasi hukum yang tak terpisahkan, yaitu:
Bukan hanya murtadnya suami atau istri yang harus dibuktikan di Pengadilan. Ketidakrukunan dalam rumah tangga akibat murtad tersebut harus pula dibuktikan di Pengadilan oleh pihak yang mengajukan tuntutan perceraian. Pembuktian ketidakrukunan dalam rumah tangga para pihak berperkara harus dinilai Majelis Hakim di Pengadilan dengan terlebih dahulu menentukan kualitas perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri yang didalilkan oleh pihak yang mengajukan perkara dengan penilaian dan pertimbangan sebagai berikut :
Hakim dalam mengadili suatu perkara perceraian yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa mengenai ketidakrukunan tersebut, baik berupa perselisihan dan pertengkaran terus menerus maupun berupa ketidakharmonisan dalam rumah tangga tersebut. Fakta dan peristiwa tersebut harus dibuktikan dengan saksi saksi dan alat bukti yang diajukan para pihak.
Ketidakrukunan dalam rumah tangga bukanlah merupakan sebab utama, akan tetapi merupakan akibat dari sebab lain yang mendahuluinya, yaitu perbedaan agama akibat murtad yang menimbulkan perbedaan dan perselisihan antara suami dan istri. Murtadnya suami atau istri tersebut haruslah merupakan fakta dan peristiwa yang mengganggu keharmonisan rumah tangga sehingga menyebabkan keretakan rumah tangga dan keadaan tersebut tidak dapat dipulihkan kembali.
Bagi Anda yang membutuhkan pengacara profesional untuk mendampingi masalah hukum Anda secara menyeluruh, Anda bisa menggunakan layanan komprehensif solusi hukum dari TNOS. Aplikasi TNOS bisa download di App Store maupun Playstore. Informasi lebih lanjut, bisa menghubungi VIA WA ke nomor 0811-9595-493
Komentar