Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Berikut Penyebab dan Hukum Yang Mengaturnya
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau domestic violence, menurut Pasal 1 UU PKDRT didefinisikan sebagai, “ ...perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Di Indonesia, perlindungan terhadap korban KDRT telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam Pasal 5 UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara:
Meski sudah ada UU yang mengatur perlindungan KDRT, sayangnya kasus kekerasan dalam rumah tangga masih banyak terjadi.
Penyebab KDRT yang paling umum adalah karena adanya faktor ekonomi, yang tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Menurut Kementerian PPPA, apabila pasangan tidak memiliki pekerjaan atau menganggur, maka dapat meningkatkan risiko terjadinya KDRT hingga 1,36 kali.
Adanya perselingkuhan dalam rumah tangga, menyebabkan hubungan suami istri menjadi tidak harmonis dan memicu terjadi konflik rumah tangga, yang berisiko menjadi penyebab KDRT, seperti kekerasan fisik, kekerasan verbal maupun kekerasan seksual. Perempuan akan dibanding-bandingkan dengan selingkuhannya, dan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas oleh suami.
Dengan adanya budaya patriarki, maka ada yang menganggap bahwa pendidikan perempuan tidak boleh lebih tinggi daripada laki-laki. Sehingga suami dapat memberdayakan istri dan bisa menjadi penyebab KDRT.
Penyebab KDRT bisa juga karena rasa iri atau cemburu dari pasangan. Bukan hanya cemburu atas kedekatan pasangan dengan orang lain, tapi bisa juga berbagai hal. Masalah yang tampaknya kecil dapat diperbesar oleh pasangan yang berniat jahat dan digunakan sebagai alasan untuk menyerang pasangan mereka.
Kecanduan terhadap minuman beralkohol ataupun obat-obatan terlarang juga menjadi salah satu penyebab KDRT yang sering terjadi. Biasanya saat pasangan berada dalam pengaruh kuat alkohol atau obat-obatan terlarang, sangat mungkin untuk melakukan tindakan kekerasan.
Kerap kali, orang yang melakukan KDRT memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan atau pernah mengalami kejadian yang sama dan menyebabkan trauma sehingga ada kemungkinan akan melakukan hal yang sama ketika dewasa.
Selain itu juga penyebab KDRT lainnya yang terkait dengan masalah mental adalah orang-orang yang menderita skizofrenia atau gangguan bipolar. Mereka dengan gangguan kesehatan mental ini mungkin merasa sulit untuk mengelola emosi.
Itulah beberapa faktor penyebab KDRT yang umum terjadi. Jika Anda mengalami atau melihat tindakan ini sebaiknya melaporkan kejadian ini pada yang berwajib. Kekerasan dalam rumah tangga sendiri merupakan siklus yang berulang. Oleh sebab itu jangan mengabaikannya dan laporkan.
UU KDRT termuat dalam Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU KDRT ini memuat aturan, larangan, hingga sanksi pidana bagi tindak KDRT.
Undang undang ini merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Lebih lanjut, dalam Pasal 2 UU PKDRT ruang lingkup dari undang-undang ini tidak hanya berlaku terhadap perempuan saja, tapi juga pihak-pihak yang menjadi lingkup dan dilindungi dalam UU PKDRT, antara lain:
Tujuan dari adanya UU KDRT dalam Pasal 4, meliputi:
1) mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
4) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Sesuai dengan Pasal 10, UU PKDRT, maka korban KDRT memiliki hak sebagai korban, diantaranya:
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
Bagi Anda yang sedang mengalami masalah hukum dan membutuhkan bantuan pengacara untuk menyelesaikannya, Anda bisa menggunakan layanan komprehensif solusi hukum dari aplikasi TNOS. Mitra pengacara TNOS siap membantu dan melayani Anda dengan segenap hati.
Buat para pengguna IOS, Aplikasi TNOS bisa download di App Store! Untuk Android, Anda bisa download aplikasi TNOS melalui Playstore, ya! Informasi lebih lanjut, bisa menghubungi VIA WA ke nomor 0811-9595-493 .
Komentar