Kapan saatnya Restorative Justice dapat berlaku
Sekiranya sebagai negara hukum, Indonesia menerapkan pembinaan hukum melalui sistem hukum yang dikenal. Adapun juga sistem hukum tersebut bercampur sebagaimana yang membentuk hukum peradilan di Indonesia sampai saat ini datang dari berbagai sumber.
Terdapat Hukum Sipil sebagai sistem hukum pengaruh dari kolonial Belanda yang diterapkan dalam sistem peradilan di Indonesia, baik semasa penjajahan hingga sekarang yang sudah disesuaikan dengan keperluan dan kepentingan negara, yang juga berdasarkan pengaruh hukum peradaban Kerajaan Romawi, yaitu Hukum Romawi.
Kemudian terdapat juga Hukum Adat sebagaimana wilayah Nusantara tersebar berbagai adat yang lama telah bertempat tinggal, dimana masing adat juga memiliki seperangkat norma dan aturan adat. Seperangkat norma dan aturan adat tersebut kemudian juga dicocokkan dan diadaptasikan ke dalam perundang-undangan Indonesia sesuai dengan keperluan negara.
Dan yang terakhir Hukum Agama, terutama Syariat Islam, sebagaimana mayoritas masyarakat di Indonesia memeluk agama Islam namun dengan kesesuaiannya hanya mengikat umat Muslim. Hal ini perlu mengikat karena perihal seperti pernikahan memerlukan elemen dalam hukum Islam.
Namun secara generalnya dalam sistem peradilan bagi penduduk Indonesia terdapat Hukum Pidana dan Hukum Perdata yang diketahui, terutama dalam perihal penegakan hukum dalam penyelesaian perkara. Kemudian dalam penyelesaian sengketa dalam acara hukum di pengadilan, mekanisme atau tata cara peradilan dapat ditangguhkan kepada pihak terkait pada penyelesaiannya. Dapat berupa jatuhan sanksi atau bahkan hukuman penjara apalagi yang mengedepankan sistem pidana sesuai dalam hukum pidana.
Belakangan ini tetapi terdapat pembahasan terkait alternatif dalam pendekatan terhadap penyelesaian perkara terutama dalam ruang lingkup pidana, yaitu Restorative Justice atau Keadilan Restoratif. Hal ini bukan hal yang baru dalam dunia peradilan hukum, tetapi pembahasan terkait pengimplementasian pendekatan alternatif belum sepenuhnya hal yang diterapkan dalam perkembangan sistem hukum pidana Indonesia.
Restorative Justice dalam konteks penyelesaian perkara melibatkan kedua belah pihak dari korban serta pelaku, termasuk keluarga kedua sisi dan pihak lain yang bersangkutan. Hal ini dikerahkan secara bersama untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pendekatan pemulihan dalam prosesnya kembali pada keadaan sebelumnya dan bukan beralih kepada retributif atau pembalasan.
Sebenarnya dalam ranah hukum perdata terdapat juga metode sedemikian yang dengan alternative dispute resolution atau alternatif penyelesaian sengketa sebagai cara pendekatan alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan. Hal tersebut juga telah ditetapkan dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Prinsip dari alternatif penyelesaian sengketa dalam hukum perdata secara tujuan serta output atau hasilnya sama dalam konteks menemukan jalan keluar secara bersama dengan penyelesaian yang dapat menguntungkan, atau dalam konteks ranah hukum pidana memulihkan hubungan kedua pihak korban maupun pelaku.
Selebihnya dalam pemidanaan hukum terhadap pelaku dapat tetap berjalan semestinya dalam pengadilan hukum. Namun terkadang memang juga hal yang dapat terluputkan adalah kerugian korban baik secara emosional, serta finansial, yang meskipun efek jera dan hukuman penjara telah dijatuhkan kepada pelaku. Maka dari itu, keadilan restoratif dalam hal ini bergerak dalam memfokuskan proses pemulihan terutama bagi korban.
Akan tetapi manfaat dari hasil penegakan hukum juga tidak selalu didapatkan bahkan oleh pihak pelaku dan juga kepentingan umum atau masyarakat. Dalam hal ini keadilan restoratif juga mempertimbangkan pendekatan terhadap korban, pelaku serta masyarakat tersebut.
Kemudian pertimbangan lainnya dapat dikarenakan biaya penuntutan dapat merogoh kantong jauh dari kata murah. Sementara dengan berkurangnya penjatuhan hukum penjara kepada calon narapidana dapat mengurangi kepadatan yang menjadi kondisi penjara di Indonesia.
Dalam ranah peradilan hukum Indonesia, bahasan terkait dengan pertimbangan implementasi keadilan restoratif sudah sempat timbul. Dalam sebuah Nota Kesepakatan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung RI dan Kepala Kepolisian Negara pada saat itu di tahun 2012 yang mulai mendefinisikan Restorative Justice serta pertimbangan prinsip keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana.
Kejaksaan Republik Indonesia sejatinya juga menerapkan pendekatan keadilan restoratif yang diatur dalam Peraturan Kejaksaan (Perja) No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
Walaupun dapat dipertimbangkan sebagai pendekatan alternatif, keadilan restoratif juga memiliki persyaratan atau kriteria sebagaimana tidak semua bentuk perkara yang ada dapat diberlakukan pendekatan tersebut.
Perlu diketahui juga bahwa agar keadilan restoratif dapat dilaksanakan, sebelumnya ditentukan oleh Penuntut Umum atau jaksa yang dimana memiliki wewenang untuk menghentikan proses penuntutan yang juga butuh diajukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.
Penuntut Umum atau jaksa inilah yang menentukan apabila persyaratan dari perkara yang ada sesuai dengan kriteria untuk diangkat pertimbangan melalui pendekatan keadilan restoratif. Penerapan keadilan restoratif dalam lampiran Surat Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, terkait dengan pedoman ruang lingkup penerapan pendekatan ini berlaku dalam perkara tindak pidana ringan, perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, perkara anak dan narkotika.
Lebih lanjut yang dipertimbangkan juga dapat berdasarkan dari seberapa berat detail dari kasus perkara yang akan dituntutkan. Pada Perja No. 15 tahun 2020 yang sempat disebut terdapat syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) berupa:
Namun terkadang terdapat elemen fleksibel sebagaimana tindak pidana dalam polanya bisa menjadi sebuah kasus tersendiri yang berbeda atau dalam hal ini bersifat kasuistik dimana dapat mempengaruhi kriteria serta pertimbangan dari Penuntut Umum (Pasal 5 ayat 2, 3, dan 4).
Selebihnya syarat lain juga tertera dalam Pasal 5 ayat (6) dimana penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dengan syarat seperti pemulihan kembali keadaan semula oleh pihak tersangka, dapat berupa mengembalikan barang, ganti rugi, ganti biaya dan/atau kerusakan yang timbul dari akibat tindak pidana.
Sementara pengecualian pendekatan keadilan restoratif berlaku pada perkara sesuai Pasal 5 ayat (8) seperti:
Penuntut Umum, serta juga dari peran hakim, perlu proaktif dalam memberikan inisiatif apabila proses penegakan hukum dapat dilakukan di luar pengadilan. Sesuai dengan Pasal 7, Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka (Ayat 1), dilakukan tanpa ada penekanan, pemaksaan, dan intimidasi (Ayat 2). Yang juga dikerahkan pada tahap penuntutan (Ayat 3), pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua).
Dalam prosesnya apabila kedua belah pihak korban/tersangka menerima pertimbangan upaya perdamaian, Penuntut Umum selanjutnya akan berperan sebagai fasilitator (Pasal 9 ayat 2). Proses perdamaian akan dilaksanakan di kantor Kejaksaan dengan pengecualian (Pasal 9 ayat 4) dengan waktu paling lama 14 hari sejak tanggal berlangsungnya tahap dua (Pasal 9 ayat 5).
Jika tercapainya perdamaian Korban dan Tersangka secara tertulis membuat kesepakatan perdamaian di hadapan Penuntut Umum (Pasal 10 ayat 1), baik sepakat beserta dengan atau tanpa pemenuhan kewajiban tertentu (Pasal 10 ayat 2) dan ditandatangani oleh kedua pihak beserta dua orang saksi (Pasal 10 ayat 3).
Sekiranya dalam menuntut tindak pidana dapat menjadi hal yang berbelit serta menambah pikiran, terutama kepada pihak korban yang telah mengalami kerugian. Namun dengan alternatif pendekatan hukum melalui Restorative Justice yang tetap mengedepankan keadilan serta kepentingan korban, dapat difokuskan penegakan hukum yang juga dilakukan secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Bagi yang sedang mempertimbangkan untuk mengajukan tuntutan tindak pidana ke meja hijau dalam hal ini dapat melakukan pendekatan keadilan restoratif, tentunya sesuai syarat dan ketentuan keadilan restoratif yang juga mempertimbangkan keinginan sukarela pihak korban.
Berbicara dengan cepat, sederhana, dan terjangkau, sekarang ada juga aplikasi yang hadir dalam memberikan solusi hukum bagi kalian yang membutuhkan nasihat atau advokasi hukum. #TenangAjaAdaTNOS dengan Mitra Pengacara kami yang hadir untuk memberikan Konsultasi Hukum via fasilitas video call serta pendampingan hukum tanpa ribet yang hanya bisa kamu temukan di aplikasi TNOS, biar kamu lebih aman dan nyaman.
Pantau terus artikel-artikel TNOS lainnya di bawah ini biar kamu makin #SimplySecureAndProtected
Komentar